sumber:www.falarasimeulue.blogspot.com

Tsunami merupakan sesuatu hal yang menjadi momok bagi orang orang yang tinggal di pesisir pantai. Seperti halnya di Aceh, tsunami sempat menerjang sebagian kawasan Aceh yang telah memakan 220.000 korban jiwa. Sebagian besar korban berasal dari Aceh dan sebagiannya lagi dari luar Aceh.
Sejak puluhan tahun lalu, para pendahulu kita telah mengajarkan tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami melalui kearifan lokal, hal ini tergambarkan jelas dengan adanya kawasan kecil di Aceh ini. Ya, Simeulue namanya, Pulau seluas 199.502 hektar dengan gugusan 40 pulau kecil yang mengitarinya, berbatasan langsung dengan Samudera Hindia,daratan ini berada sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh.

Palang nama SD sisa tsunami 2004
(sumber:www.mongabay.co.id)

Tempat ini merupakan kawasan di Aceh yang paling sedikit memakan korban jiwa, hanya 7 orang saja. Daerah ini bak memiliki teknologi tingkat tinggi yang seakan mampu dengan sigap memberitahukan bahwa akan terjadi tsunami, teknologi ini bukanlah buatan Jerman, Jepang, maupun Amerika melainkan teknologi ini di desain dan di bentuk pada tahun 1907, bukan tanpa alasan, teknologi ini di bentuk untuk mengingatkan generasi mendatang tentang suatu kisah kelam seumeulu terhadap sebuah bencana.

Enggel mon sao surito (dengarlah suatu kisah)

Inang maso semonan (pada zaman dahulu kala)

Manoknop sao fano (tenggelam suatu desa)

Uwilah da sesewan (begitulah dituturkan)

Unen ne alek linon (Gempa yang mengawali)

Fesang bakat ne mali (disusul ombak raksasa)

Manoknop sao hampong (tenggelam seluruh negeri)

Tibo-tibo maawi (secara tiba-tiba)

Angalinon ne mali (jika gempanya kuat)

Oek suruk sauli (disusul air yang surut)

Maheya mihawali (segeralah cari tempat)

Fano me senga tenggi (dataran tinggi agar selamat)

Ede smong kahanne (itulah smong namanya)

Turiang da nenekta (sejarah nenek moyang kita)

Miredem teher ere (ingatlah ini semua)

Pesan navi-navi da (pesan dan nasihatnya)

Smong dumek-dumek mo (tsunami air mandimu)

Linon uwak-uwakmo (gempa ayunanmu)

Elaik keudang-keudangmo (petir kendang-kendangmu)

Kilek suluh-suluhmo (halilintar lampu-lampumu)


Ya. Nandong Smong lah teknologi itu, teknologi ini merupakan suatu budaya yang di bentuk menggunakan suatu bahasa dari simeulue yang di sebut bahasa Defayan di mana "Nandong" berarti dendang dan "Smong" berarti gelombang besar atau tsunami. Teknologi ini merupakan sebuah genre nyanyian rakyat Simeulue, yang dapat dikelompokkan kepada cerita rakyat berupa penjelasan atau narasi multi-indeksikal mengenai situasi alam yang dikenal dengan tsunami. Teknologi itu sendiri ditransmisikan berdasarkan tradisi kelisanan, yang mengacu kepada dasar kebudayaan adat Simeulue dan bersendikan syarak (agama islam) dan telah membudaya di dalam masyarakat simeulue yang di sematkan dalam acara acara besar kampung seperti pernikahan, sunatan dan adat lainnya, yang biasanya dilakukan dengan memukul gendang yang dibuat khusus dari kulit kambing ataupun kulit kerbau sehingga membentuk suatu alunan musik khas yang di iringi dengan syair yang di lantunkan oleh seorang lelaki yang berisi himbauan dan peringatan untuk berlari
mencari tempat tinggi apabila terjadi gempa bumi.


pergelaran tradisi Smong
(sumber:www.bandaacehtourism.com)

Hal ini telah menjadi "Early Warning System" atau sistem peringatan dini terhadap tsunami yang sangat ampuh dan telah melekat pada masyarakat kala itu.

Teknologi ini berkecepatan melebihi prosesor laptop gaming terkini, diketika terjadi gempa bumi maka secara spontan masyarakat akan meneriakkan kata "smong" yang berarti gelombang besar, teriakan itu dilakukan terus menerus sampai seluruh masyarakat telah berada di dataran tinggi.
Hingga akhirnya pada tanggal 26 Desember 2004 teknologi ini di gunakan kembali oleh masyarakat tersebut, yang dapat dengan cepat menghimbau seluruh masyarakat untuk mencari tempat tinggi apabila ada gempa, dengan demikian secara spontan masyarakat seumeulu langsung berlari ke tempat tinggi yang aman dari gelombang ombak tsunami sehingga korban jiwa dari peristiwa itu hanya 7 orang.
Teknologi ini memang sudah ada sejak tahun 1907, namun bukan berarti teknologi ini sudah familiar di kalangan para remaja, bahkan mirisnya Aceh sendiri yang merupakan kawasan yang rawan tsunami pemudanya masih banyak yang tidak mengetahui teknologi yang telah menyelamatkan banyak nyawa ini. Hal ini dikarenakan seiring dengan bertambahnya zaman dan lahirnya inovasi teknologi terbaru, teknologi ini mulai di lupakan oleh kaum muda, tersisihkan dengan budaya budaya asing yang terkadang tidak ada hubungan nya sedikitpun dengan kearifan lokal daerah nya, menghafal berbagai bait syair asing yang tidak memiliki makna sedikitpun. Sepatutnya para kaum muda dapat mengkolaborasikan smong ini dengan berbagai kearifan lokal di daerah lain seperti mengkolaborasikan nya dengan debus, selain untuk menjaga eksistensi budaya ini, dapat juga untuk menarik perhatian orang lain terhadap budaya ini, ya tentu saja dengan catatan tidak mengubah nilai nilai yang di kandung oleh smong itu sendiri, karena Nandong smong itu sendiri tidak hanya sebatas mengandung nilai pengetahuan dan pemahaman terhadap tsunami, tetapi juga mengandung suatu pemahaman tentang eksistansi Allah SWT yang menurunkan bencana dan memberikan ilmu untuk menghadapinya.

perpaduan smong dengan tarian
(sumber:Team PKM-M UNSYIAH 2018)